TARI DAN KERONCONG JANTUNG KAMI
Hiruk pikuk Makassar kota yang sering juga
disebut Kota Daeng atau Kota Anging Mamiri ini sudah tampak terlihat. Aku
melangkah sedikit demi sedikit menyusuri rumah. Sangat lelah, tapi bersyukur
hari ini sudah banyak ilmu Aku dapatkan dari sekolah lagi. Setiap hari Aku
hanya berjalan kaki pulang, rumahku juga tak terlalu jauh dari sekolah. Tak
hanya itu Aku juga memang tidak mempunyai kendaraan seperti teman lainnya. Cukup
membutuhkan waktu sekitar setengah jam saja untuk tiba ke rumah. Kendaraan
berlalu lalang sudah menjadi tontonon, sudah terlalu sering menyaksikan
pengendara yang menerobos lampu merah karena hanya mementingkan ego semata, polusi
udara sudah menjadi sahabatku setiap kembali ke rumah. Sesekali jika terasa lelah,
Aku mencoba menghentikan langkah kaki untuk singgah ke salah satu warung kaki
lima pinggir jalan. Memuaskan dahaga sejenak dengan menikmati hidangan Es
Pisang Ijo, salah satu makanan khas dari kotaku tercinta. Makanan dengan bahan
dasar dari pisang ini memang sudah menjadi makanan favoritku ketika rasa haus dan
lapar menyerang. Bukan cuman Aku, banyak masyarakat dari luar kota lain juga sangat
menikmati makanan khas nomor dua setelah Coto Makassar ini. Bangga, karena Es
Pisang Ijo tak hanya dikenal di kota sendiri tapi juga terkenal di kota-kota
besar Indonesia, seperti Jakarta. Aku mengetahui karena dulu pernah melihat
pemberitaan di televisi mengenai beberapa Cafe dan Restoran yang menjadikan Es
Pisang Hijau sebagai salah satu menu favorit mereka.
“Kak Eli, ayo
cepat ganti baju. Kita makan siang bersama” Suara Anton adik ku tiba-tiba
terdengar saat Aku baru saja memasuki rumah.
“Aku sudah
kenyang, barusan habis makan Es Pisang Ijo di warung Mbok Ati” Jawabku
tersenyum.
“Kak Eli jahat,
selalu makan diluar tak pernah memanggil Aku” wajah Anton tampak cemberut.
“Nanti lain kali
kalau ada uang lebih lagi, Kak Eli belikan buat kamu. Oh iya, Ibu mana? Belum
pulang ?” Aku bertanya balik.
“Belum Kak, Ibu
masih ada di sanggar. Mungkin sore pulangnya.” Jawab Anton tak jelas sambil
mengunyah makanan.
Sore hari, gerimis
turun membungkus rumah. Satu per satu, tetes air jatuh dari genteng. Sekawanan
kambing yang tampak asyik menyantap rumput-rumput lapangan juga tampak basah.
Dari kejauhan rumah terlihat seorang perempuan tak asing berlari dengan balutan
Baju Labbu berlengan panjang dan ketat dari siku hingga pergelangan tangan yang
melangkah dengan cepat ke arah rumah.
“Ibuuuuu…” Dengan
refleks Aku memanggil dan segera mengambil payung yang tergantung diatas tali
jemuran.
Aku segera
membuka payung lalu berlari menghampiri Ibu dengan cepat agar tak terlalu
basah.
“Ibu, kenapa tak
menunggu sampai hujan redah saja ? Kasihan kalau Ibu sakit, nanti tak ada yang
mengurusi kita.” Anton tampak peduli.
“Tadi Ibu baru
terjebak di tengah jalan. Ibu juga tidak mungkin pulang kalau tahu hujan deras begini. Lagian, bisa tinggal di sanggar dulu
latihan menari sama anak-anak.” Ibu tersenyum manis menjelaskan.
Hampir setiap
hari, dari pagi hingga siang bahkan malam sekalipun Ibu selalu berada di Sanggar
yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman sekitar Monumen Mandala, salah satu
monumen yang dibangun untuk memperingati dan menjadikan pedoman nilai-nilai
kepahlawanan bangsa Indonesia. Setiap hari, Ibu hanya bisa berada di sanggar
sebagai pembimbing dan pelatih penari, meski terkadang anak-anak yang berada
disana hanya bisa dihitung jari. Upah yang didapat, juga tak bisa dibilang
banyak. Oleh karena itu, Ibu tak mau hanya berpegang sebagai penari saja. Di
kotaku, Ibu dikenal sebagai sosok yang memiliki dua wajah. Sebagai penari
sekaligus sebagai penyanyi keroncong. Dari hobbi yang bisa menghasilkan rupiah
itulah yang memenuhi kebutuhan Aku dan sang adik Anton hingga bisa merasakan
nikmatnya bangku sekolah menengah atas.
“Kau
tidak ikut belajar Anton? Lihat kakakmu, setiap malam mengulang pelajarannya”
Ibu menguap, bertanya.
Anton
menggeleng, “Aku tidak punya PR Bu.”
“Belajarkan
tidak saat mengerjakan PR saja.! Ayo sana ambil bukunya. Bagaimana nanti bisa
masuk SMA unggulan, kalau belajar saja malas” Ibu mencoba menasehati.
Anton
hanya terdiam dan tampak cemberut, segera masuk ke kamar mengambil beberapa
buku pelajaran. Meski tampak wajah yang datar seakan tak ikhlas.
“Eli,
Anton, besok pagi kalian jadi ikut liburan sama Paman Ucok?” Ibu bertanya.
“Oh
iya, jadi Bu” Anton tampak semangat.
Aku
mengangguk tersenyum. Besok pagi Paman Ucok, adik laki-laki Ibu yang tinggal di
Kota kecamatan mengajak kami jalan-jalan ke Pulau Samalona Makassar. Meski
tinggal di Makassar, Aku belum pernah menginjakkan kakiku kesana. Bahkan Aku
baru mengetahui keindahan Pulau Samalona dari Paman Ucok sendiri, itu juga baru
mendengar ceritanya saja. Ajakan Paman Ucok selalu menyenangkan, dan membuat
kami penasaran serasa tak sabar menikmati langsung keindahan pulau yang begitu
dibanggakan oleh Paman. Setiap hari libur, Paman selalu mengajak kami berwisata
ke tempat-tempat indah. Ke tempat pariwisata yang dianggap mempunyai keindahan
tersendiri.
“Ibu
besok ikut yah ?” Wajahku berbinar-binar membujuk.
“Tidak
bisa, Eli.” Ibu menjawab dengan cepat.
“Ayolah,
Bu. Ibu izin sehari saja besok sama
anak-anak sanggar. Kalau Ibu ikut, pasti akan tambah seru.” Aku tampak memohon.
“Tidak
bisa sayang. Ibu harus melatih menari besok, bulan depan anak-anak akan ikut
lomba Tari Pakarena. Lagian besok malam Ibu juga ada nyanyi di acara pernikahan
anak Pak Sumarto.” Ibu menjelaskan dnegan gamblang.
Aku
sebenarnya hendak Ibu ikut. Tapi karena tanggung jawab terhadap pekerjaannya
sangat tinggi. Serta kecintaan Ibu terhadap tari dan keroncong sudah tidak bisa
dipisahkan dalam keseharian Ibu. Meski terkadang sering mendapat remehan dan
hinaan dari orang-orang sekitar. Ibu tetaplah Ibu yang kuat yang dapat berdiri
sendiri tanpa adanya pendamping hidup lagi. Ayah memang memutuskan tali
pernikahan dengan Ibu dan menikahi perempuan lain saat Aku menginjak usia 12
tahun. Alasan yang sederhana, masalah ekonomi.
Meski
hidup tanpa pendamping lagi, Ibu tidak pernah terlarut dalam kesedihan dan
kemiskinan. Karena sekarang Ibu mempunyai Aku dan Anton harta yang paling
berharga dalam hidup ini. Tak pernah menampakkan kesedihan dan setiap masalah
yang dihadapi itulah sifat Ibu. Aku tahu betapa hatinya remuk, tapi dia tetap
menikmati kehidupan. Kata Ibu selalu padaku.
Pagi
ini cuaca sangat mendukung, tidak ada hujan yang menderas seperti kemarin.
Orang-orang tampak mulai kelihatan sibuk memulai aktivitas masing-masing.
“Paman
kalian belum datang?” Ibu keluar sambil terlihat sudah bergegas siap ke
sanggar.
“Belum,
Bu.” Anton mencoba menjawab.
“Sudah
dikabari belum? Jangan-jangan tidak jadi lagi.!” Ibu tersenyum dengan nada
sedikit mengejek.
“Tidak
batal, Bu. Paman Ucok hanya terlambat.” Aku menegaskan.
Benar
saja, dari kejauhan suara mobil Paman Ucok tampak terdengar. Aku langsung
loncat dari bangku, berseru senang. “Hore! Paman Ucok datang!”
Paman
Ucok selalu keren. Lihat saja, penampilannya sudah seperti selebritis yang lagi
ikut tantangan traveling. Topi bundat berwarna hitam tampak dikenakan, dipadu
dengan baju dan celana yang tampak santai, dan ketinggalan kacamata hitam yang
membuat Paman makin keren.
“Hei,
Ayo buruan naik ke mobil” Paman Ucok tampak sumringah menyuruh kami.
“Ibu,
kami pamit dulu yah” Anton teriak bersemangat.
Paman
orang yang heboh, meski hanya bertiga pergi selama diperjalanan kami tak tampak
sepi. Ada saja hal-hal lucu yang dilakukan Paman yang membuat kami tak
henti-hentinya tertawa. Aku sudah tak sabar menginjakkan kaki di Pulau
Samalona, yang sedari tadi membuatku penasaran akan cerita Paman Ucok. Namun Aku
baru sadar, rupanya untuk sampai ke Pulau Samalona tak cukup menggunakan
kendaraan mobil saja, karena untuk menginjakkan kaki di Pulau Samalona kami harus menumpang speedboat dari Dermaga di seberang
Benteng Fort Rotterdam dengan biaya
carter sebesar tigaratus ribu. Tak cukup lama, kami hanya menempuh dengan waktu
kurang lebih setengah jam. Sepanjang perjalanan kami menjumpai banyak
kapal-kapal besar yang akan bersandar di pelabuhan Ujung Pandang. Senang sekali
rasanya menikmati perjalanan laut ini.
“Paman, pulaunya indah sekali.! Wahhh, ini benar-benar
diluar ekspetasiku.” Aku begitu antusias saat baru saja tiba.
“PASTI! Siapa dulu dong!” jawab Paman sambil mengambil
kamera mengabadikan keindahan Pulau Samalona.
“Wah iya, Paman memang paling hebat soal liburan. Tau
tempat-tempat indah seperti ini. Tapi sayang saja, pulau ini masih belum terlalu
populer.” Anton menambahi.
“Iya, seperti kita sendiri. Tak tahu ada pulausebagus ini”
Aku menambahkan setuju dengan kata Anton
“Itu sebabnya, Paman mengajak kalian kesini. Biar kalian para
generasi muda ini bisa tau dan bangga akan ragam pulau di negara kita sendiri.”
“Paman benar! Seharusnya Aku malu, tak tahu ada pulau sebagus
dan seindah ini. Selalu menuntut diajak ke Bali hingga Lombok lah. Padahal di
kota sendiri juga ada.” Jawabku dengan suara rintih.
“Itu dia rumitnya anak muda jaman kalian. Selalu menuntut
mau ke Singapore hingga ke Eropa. Padahal di Indonesia banyak sekali destinasi
yang bisa kalian tuju.”
“Paman, Kak Eli ayo kita ke sana.!” Anton mencoba
mengajak sambil menunjuk tempat yang dimaksud.
Aku terkagum! Aku tak mau ketinggalan menyusuri setiap
sudut pulau ini, sangat indah dan menakjubkan. Seperti halnya dengan Paman
Ucok, tak mau ketinggalan mengabadikan
keindahan Pulau Samalona sambil berkeliling dengan memanfaatkan objek di sekitar.
Perahu-perahu nelayan, gubuk-gubuk kayu, serta enceng gondok di beberapa sisi
pulau menambah eksotis keindahan Pulau Samalona. Tak hanya itu tampak pasir
putih di setiap sisi Pulau menambah kekagumanku dan beberapa karang tajam di
sisi belakang menjadi pelengkap keindahan pulau ini. Sangat indah!
Aku
tak puas, tak pernah cukup hanya untuk membelalakkan mata saja dan mengabadikan
keberadaan diri serta eksotisme kebersihan pasir putih, semuanya terasa tak
lengkap. Perairan yang dangkal membuat Aku memberanikan diri melakukan diving
bersama Anton dan Paman Ucok. Aku melihat begitu jelas betapa besarnya
keindahan dibawah laut ini. Sangat mengagumkan, kata-kata yang sering keluar
saat Aku masih menginjakkan kaki di pulau ini. Sepulang dari sini, Aku berjanji
akan merekomendasikan ke teman-teman baik yang diluar ataupun yang ada disini
untuk harus melihat salah satu keindahan alam negara kita. “Harus dan wajib!” Kataku.
Tapi ada satu
hal yang menjanggal dihati, kebahagiaan yang kami dapatkan tak begitu sempurna.
Aku mengingat Ibu yang lagi berjuang mencari rupiah dengan usaha dan kerja
kerasnya. Aku termenung, tak pernah melihat Ibu menyempatkan diri menikmati
liburan seperti Aku dan Anton rasakan sekarang. Ibu orang yang kuat, kecintaan
terhadap tari dan keroncong sudah menjadi jalannya. Aku sangat bangga!
“Paman , lain
kali ajak kami lagi yah ke tempat-tempat pariwisata seperti ini!” Aku mencoba
menggoda Paman Ucok.
“Hmm, memang
tempat yang paling ingin kalian kunjungi dimana?” Paman Ucok tampak bertanya
balik.
“BALI!” Aku dan
Anton tampak kompak menjawab dengan suara kencang.
Paman hanya
tersenyum dan menunjukkan respon wajah yang datar. “Kalian tak ubahnya seperti wisatawan
mancangera saja”
“Lho, kenapa Paman
?” Aku bertanya penasaran
“Ya, lihat saja
para wisatawan mancanegara. Bali adalah pariwisata yang hanya diketahui oleh
mereka. Padahal ada beribu-ribu ragam pariwisata di negara kita ini yang bisa
ditawarkan kepada masyarakat dunia” Paman Ucok menjelaskan seius.
Aku terdiam.
Tidak ada yang salah dari perkataan Paman Ucok. Kebanyakan dari wisatawan
mancanegra hanya tahu Bali sebagai pariwisata Indonesia. Jangankan mereka, Aku
sendiri tak begitu banyak tahu tentang pariwisata di negaraku sendiri. Jelas jauh
beda dengan Paman, yang sudah punya banyak pengetahuan tentang ragam Indonesia.
Paman memang paling senang dengan traveling, sifat adventurnya sudah tak bisa
dipisahkan lagi. Hari ini betul-betul mengesankan dan sangat menyenangkan, bisa
menyaksikan langsung salah satu ragam pariwisata Sang Pencipta. Sungguh indah
ciptaanmu Tuhan!
Matahari pagi
sudah kelihatan, hiruk pikuk di jalanan mulai terlihat. Beberapa dari mereka sudah
memulai aktivitas. Tampak dari sudut kamar Ibu sedang sibuk merias diri. Aku
baru sadar, hari ini Ibu akan mengantar anak-anak sanggar mengikuti kompetisi
menari yang dilaksanakan di Monumen Mandala. Tak hanya itu, rupanya Ibu juga
diminta dari panitia untuk membuka acara dengan menyumbangkan satu buah lagu
keroncong. Jelas Ibu tak akan menolak, meski bayaran yang diterima tak terbilang
banyak. Sejak sebulan yang lalu, Ibu
sudah terlihat tampak sibuk melatih anak-anak sanggar. Bahkan tak sering Ibu
harus rela pulang larut malam untuk mempersiapkan semuanya, demi kelancaran
kompetisi nanti. Tak mau bergulat lama dengan waktu, Ibu dengan cepat
mengenakan Baju Bodo berwarna merah beserta sarung dengan bahan khas dari kotaku
Makassar. Kali ini Ibu benar-benar terlihat anggun, sangat anggun! Ditambah
lagi sepasang anting, gelang, dan kalung yang melekat manis di tubuh Ibu
menambah pancaran kecantikannya.
“Ibu hati-hati
yah! Aku dan Anton akan segera menyusul.”
“Iya, kalian
jangan telat datang! Nanti keburu Ibu tampil” Ibu tersenyum manis.
Ibu melangkah menuju
sanggar. Tempat sanggar yang tak terlalu jauh dari rumah membuat Ibu memilih
berjalan kaki ditemani sepasang sepatu heels tinggi kesayangan. Dari kejauhan,
tampak sudah berkumpul anak-anak sanggar. Tak mau kalah dengan Ibu, mereka tampak
sangat kompak mengenakan Baju Bodo beserta olesan bedak dan sedikit gincung
merah. Tampak wajah ceria serta semangat dari mereka, membuat Ibu tersenyum bangga
dan bahagia. Betapa tidak, momen ini mengingatkan kembali perjuangan Ibu awal-awal
membangun sanggar. Sangat tidak mudah membuat mereka masuk ke sanggar tanpa
paksaan, sangat tidak mudah membuat mereka menyukai dan mencintai tarian. Sangat
tidak mudah! Masih teringat jelas di benakku betapa Ibu jatuh bangun mendirikan
sanggar ini. Bahkan tak sering, Ibu memintaku membuatkan brosur berisikan
ajakan masuk ke sanggar. Dengan senang hati Aku membantu Ibu. Brosur yang sudah
jadi lalu di perbanyak oleh Ibu dan dibagikan ke anak-anak seusai pulang sekolah.
Dari anak-anak tingkat dasar hingga menengah atas menjadi sasaran ajakan Ibu, dengan
semangat membara Ibu terus berdiri di depan pagar sekolah mencoba membagikan
brosur kepada anak-anak yang lewat disekitarnya. Berbagai macam ekspresi dan
perilaku yang diberikan. Dari yang menolak, menerima hingga mau membaca,
mengambil tapi pada akhirnya meremuk dan membuang jauh-jauh, sampai merobek
dengan cepat seakan tak menghargai Ibu yang masih berada disitu. Bahkan satu
hal yang membuat Aku sedih, saat Aku menyempatkan menemani Ibu membagikan
brosur, salah satu anak tingkat pertama berkata kepada kami:
“Apa gunanya
masuk sanggar? Kalau pada akhirnya hanya menjadi seorang penari saja?”
Kata-kata itu
membuatku tercengang, kaget dan marah. Aku tak sempat pikir anak itu
mengeluarkan kata-kata yang tak sepantasnya! Itu membuatku geram. Tapi ibu
menahanku untuk tidak melawan. Ibu memang selalu mengajarkan untuk sabar atas
segala apapun yang terjadi. Dan hari ini menjawab semua kesabaran Ibu. Anak-anak
sanggar yang sudah tidak bisa dihitung jari lagi kini menikmati masuk berada di
sanggar, bahkan tak jarang keluaran dari sanggar Ibu sudah menjadikan penari
sebagai profesi keseharian untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Bahkan hingga
kini sanggar Ibu termasuk salah satu sanggar terbaik dan populer di kotaku. Semua
tidak terjadi secara kebetulan! Butuh keringat dan air mata untuk mendapatkan.
“Ibu, acaranya
belum dimulai?” Aku memegang bahu ibu dari belakang saat baru tiba di tempat
acara bersama Anton.
“Sepuluh menit
lagi Eli, ayo sana cepat ambil tempat. Nanti kalian tidak kebagian”
“Oke Bu. Jangan
lupa menampilkan yang terbaik yah” Anton coba menyemangati.
Aku dan Anton
segera menuju ke tempat penonton. Mencari tempat yang paling depan agar bisa
menyaksikan lebih jelas tampilan Ibu dan anak-anak sanggar. Aku sudah tak
sabar, ini kali pertama Ibu tampil menyanyi keroncong di acara besar seperti
ini. Biasanya hanya mengisi acara-acara kondagan saja. Aku dan Anton begitu
antusias dan tampak semangat. Tak mau kehilangan momen berharga seperti ini, Aku
menyuruh Anton mengabadikan penampilan Ibu di panggung nanti. Desakan penonton
mulai memadati, juri-juri kepercayaan juga sudah mulai memasuki panggung. Kini
sepuluh menit berlalu, Aku melihat Ibu menaikki anak tangga yang menandakan
acara kompetisi ini akan segera dimulai. Ibu tampak tersenyum manis kepada
semua masyarakat yang tampak hadir. Lambat laun lantunan musik sudah mulai
terdengar. Ibu tampak tenang dan sangat anggun, Ibu mengeluarkan suara merdunya.
Aku bertepuk tangan, bangga akan Ibu yang mau membangkitkan kembali musik
keroncong yang kini bahkan gaungnya tak terdengar lagi. Suara tinggi dan
cengkok langgam Ibu begitu terasa, masyarakat yang hadir juga tampak sangat
menikmati penampilan Ibu.
“PLAAAKKKKK!”
“Siapa itu?” Aku
segera menoleh ke belakang ingin melihat orang yang berani-berani melemparkan
botol kosong kearah Ibu.
Semua
terdiam. Meski terkejut, Ibu hanya terus melanjutkan aksinya di panggung dan
tak menghiraukan apa yang baru saja terjadi.
Aku
dan Anton masih tetap berdiri, kaget dengan apa saja yang baru terjadi. Ini
sudah tidak punya hati nurani lagi. “Ibu hanya menghibur, dia tidak mengganggu,
tidak juga menyakiti kalian! Tapi kenapa harus bertindak kasar seperti ini?.” Dalam
hatiku tampak berbicara kejam dengan menutup kepalan tangan begitu kencang sambil
terus membolak-balik kepala mencari sudut tempat arah lemparan itu. Tapi Aku
tak bisa mendapatkan, ratusan orang berkumpul membuatku bingung siapa yang
berani-berani bertindak bodoh demikian.
“Kak,
siapa yang melemparkan botol bekas itu?” Anton menanyakan.
“Tidak
tau. Dasar orang tidak punya hati nurani!” jawabku kesal.
“Itu
kena tangan Ibu kak. Betul-betul orang gila! Tidak punya otak kali” Anton
menambahkan ikut marah.
“Iya,
tadi juga Aku lihat”
Kini,
malam datang untuk kesekian kali. Hari ini betul-betul membuatku gerah. Masih
tak terima dengan kejadian tadi siang. Ini membuat malu Ibu, Aku dan Anton. Aku
tak bisa terima ini. Benar-benar bodoh!
“Eli,
sedang apa?” Terdengar suara Ibu dari belakang menghampiri.
“Aku
tidak suka Ibu diremehkan seperti tadi hanya alasan Ibu penyanyi keroncong” Aku
mengangkat bahu kecewa dengan mata berkaca-kaca.
“Tidak
usah khawatir Eli, Ibu sudah terbiasa mendapatkan perilaku seperti itu. Jadi
biarkan saja” Ibu mengenggam tanganku meyakinkan semuanya baik-baik saja.
“Tapi
Bu..…”
“Sudah
nak! Tidak usah berlebihan. Ayo tidur sana. Besok kan harus sekolah” Ibu
memotong pembicaraan.
“Belum
mengantuk Bu” Aku mencoba mengelak.
“Apalagi
yang kamu pikirkan Eli? Ibu sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti tadi. Itu
wajar, penyanyi keroncong seperti Ibu memang selalu mendapat pandangan jelek.
Itulah tugas Ibu sekarang! Bagaimana Ibu dan teman-teman penyanyi keroncong
lainnya membangun kembali musik keroncong di negeri kita ini!” Ibu menjelaskan
dengan penuh kehangatan.
“Iya
Bu, Eli paham. Tapi kenapa harus diperlakukan sedemikian kasar? Padahal
keroncong itu dari negara kita sendiri. Semestinya orang-orang itu sadar dan
bangga masih ada orang yang mau membawa musik keroncong di zaman seperti ini” Aku
tersenyum memberikan semangat untuk Ibu.
Aku
dan Ibu menyadari, dunia kesenian yang terus
bergerak ini banyak menyimpan berjuta kekhawatiran. Seperti yang sering Ibu
sampaikan kepada kami, “Hidup di dunia
seni itu ibarat mengharapkan pelangi di siang hari. Jika tak nampak atau laku,
pasti akan sangat menyakitkan.” Untuk itulah Ibu selalu melakukan berbagai
upaya yang tiada henti agar karier di dunia keroncongnya selalu terang. Mulai
dari menjaga pita suara, Ibu sangat menghindari makanan gorengan bahkan tak
sering ibu berpuasa untuk tetap menjaga kualitas suaranya. Tak hanya itu,
setiap pagi Ibu mencoba berjalan keluar rumah tanpa menggunakan alas kaki. Dan
satu hal yang Aku salut dari sosok Ibu, setiap pukul dua dini hari Ibu tak
luput berdoa agar terus diberi kesehatan dan kekuatan dalam menjalani hidup.
Ibu bukanlah orang yang mudah menyerah. Cita-cita Ibu
untuk membangkitkan kembali musik keroncong sangatlah tinggi. Setelah dulu
berjuang habis-habisan membangun sanggar dari nol, kini ibu bersama teman-teman
penyanyi keroncong lainnya kini mendirikan kelompok musik keroncong yang diberi
nama “Bintang Langgam”. Tak mudah membentuk Bintang Langgam, Ibu beserta teman
lainnya harus mempunyai kerja sama bersama para pencipta lagu-lagu keroncong.
Untunglah, salah seorang dari teman Ibu yang sudah malang melintang di dunia
keroncong mengatur semua ini. Wajar, dia sudah mengenal banyak pencipta-pencipta
lagu. Beberapa kali beliau juga diminta mengisi acara-acara besar dari kota ke
kota sehingga kelompok musik keroncong Ibu dapat berkerjasama dengan baik
bersama mereka. Tak hanya itu, Ibu bersama teman-teman di Bintang Langgam
mencoba melakukan tranformasi dengan membuat musik keroncong terdengar lebih
ritmis, saat sebelumnya musik keroncong terkenal sangat lambat. Semua dilakukan
guna membangkitkan kembali musik-musik keroncong dan para pencipta karya lagu
yang luar biasa.
“Bagaimana perkembangan Bintang Langgam Bu?” Aku memulai
percakapan saat Ibu sedang asyik menggoreskan pena mencoba menciptakan sebuah
lagu.
“Masih belum ada perkembangan yang begitu berarti nak.
Ibu dan teman lainnya masih proses kerja sama dengan salah satu label rekaman
disini”
“Oh gitu ya Bu! Semoga saja nanti Ibu bisa jadi salah
satu penyanyi keroncong yang bisa membawa nama Indonesia ke kancah dunia. Aku
sangat berharap itu Bu”
“Iya, doakan saja Eli. Itu semua tidak mudah, untuk bisa
di kenal di negara kita saja butuh perjuangan. Apalagi untuk sampai ke kancah
dunia, harus ekstra kerja keras lagi” Ibu menjawab sambil terus melanjutkan
goresan-goresan penanya.
Setiap hari, Ibu bergulat dengan waktu. Tak ingin waktu
sedetik di sia-siakan begitu saja. Segala waktu luang Ibu manfaatkan dengan
mengurus “Bintang Langgam”. Aku menjadi saksi bisu, betapa Ibu dan teman
lainnya mencoba terus mengembangkan komunitas musik keroncong ini. Waktu terus
bergulir, hingga kini Ibu sudah melakukan rekaman beberapa buah lagu.
Tampaknya, Ibu kini sudah punya cukup modal untuk hidup di dunia keroncong. Tak
hanya mempunyai lagu sendiri, karakter suara dan cengkong tinggi Ibu menjadi
nilai jual tersendiri. Tapi, bayangan kebahagiaan di depan mata ternyata tak
semudah membalikkan telapak tangan, masa-masa itu adalah masa terberat. Ibu
dituduh melakukan plagiat, hal yang membuatku tak habis pikir. Sebuah karya lagu
yang dibuat atas kerja keras Ibu sendiri diakui adalah hasil penjiplakan. Salah
seorang penyanyi di kotaku mengaku bahwa itu adalah hasil ciptaan darinya bukan
ciptaan Ibu. Benar-benar sebuah fitnah! Tak sampai disini, cerita tentang orang-orang
yang tidak menyukai Ibu kini membuatku gerah dan kasihan sama perjuangan yang
dilakukan Ibu selama ini.
Tapi satu hal peristiwa terberat yang terjadi pada kami!
Peristiwa yang benar-benar menghentikan nafasku sesaat. Saat Paman Ucok, adik
laki-laki Ibu harus menutup mata untuk meninggalkan dunia ini selama-lamanya karena
mengalami kecelakaan saat melakukan perjalanan wisata ke Manado. Kejadian yang
seakan meruntuhkan seisi bumi ini. Aku begitu terkejut mendapat kabar buruk
yang serba mendadak. Betapa masih jelas teringat di benakku Paman yang begitu
baik dan ramah harus di panggil begitu cepat oleh Sang Pencipta. Kejadian yang betul-betul
mendadak ini sangat memukul perasaan Ibu, bagaimana tidak Paman Ucok adalah orang
yang begitu baik di mata kami. Paman Ucok juga termasuk salah satu orang yang sering
membantu kami dalam segala hal. Membantu biaya sekolah Aku dan Anton sejak
kecil hingga membantu membiayai pembangunan sanggar yang kini sudah dikenal oleh
banyak orang. Kejadian yang bertubi-tubi dan tertumpuk rapi ini membuat Ibu tak
bersemangat menjalani hidup lagi. Hingga suatu ketika Ibu memutuskan untuk berhenti
bernyanyi.
“Kalau Ibu nggak mau nyanyi lagi, siapa yang akan menghidupi kami?” Anton
mencoba memberikan pertanyaan yang sangat memukul jiwa.
Aku dan Ibu hanya terdiam. Tatapan mata Ibu benar-benar
kosong. Aku tahu dia masih belum bisa menerima keadaan seperti ini. Ibu hanya
butuh waktu saja untuk mengembalikan semangat yang telah hilang.
“Aku tahu Ibu pasti sangat sedih, begitu juga dengan
kami. Tapi, Paman disana pasti akan sangat bangga jika melihat Ibu bisa terus
hidup di dunia keroncong. Musik yang selama ini menghidupi kami Bu.” Air mataku
jatuh tak tahan menyaksikan Ibu seperti ini.
Ibu hanya terdiam. Entah apa yang sekarang ada di
benaknya. Mata Ibu berkaca-kaca, mengisyaratkan dia sangat sedih akan hal ini.
“Menjadi penyanyi itu menjadi penghibur. Menghibur itu membuat
Ibu hidup. Dengan menyanyi Ibu seakan bisa mengisi jiwa. Jiwa Ibu akan ikut
gembira, dan itulah kebahagiaan yang luar biasa Ibu dapatkan.! Masih ingat
dengan kata-kata itu Bu? Ibu sendiri yang bilang sama Aku kan!” Aku tampak
tesenyum mengingatkan kata yang dulu pernah terucap oleh bibir manis Ibu.
Walau perasaannya sakit, Ibu tetaplah orang yang
professional. Mendapat hinaan, ejekan, hingga kehilangan Paman Ucok ternyata
tak membuat Ibu harus menutup diri dari dari dunia keroncong. Aku percaya, keputusan
Ibu untuk tidak bernyanyi lagi hanyalah keputusan sesaat yang dipikir tanpa
menggunakan perasaan dan logika saat masih merasakan kesedihan yang begitu besar.
Cita-cita Ibu tetap sama, membangkitkan kembali musik keroncong dan membawanya
ke dunia Internasional. Bertahun-tahun Ibu terus berusaha membangun “Bintang Langgam”
bersama teman lainnya, bolak balik dari satu panggung ke panggung. Nama Ibu
sebagai penyanyi keroncong kini juga sudah mulai dikenal banyak orang. Terutama
di kotaku Makassar, beberapa kali Ibu diundang mengisi acara-acara besar bahkan
tak sering Ibu melakukan tour beberapa daerah.
Sepanjang kurang lebih dua tahun Ibu sudah merekam dan
mendapat kontrak dari label. Ibu bersyukur, betul-betul berkah dari musibah
yang datang bertubi-tubi. Namun belum juga sempurna kebahagiaan kami, Ibu
memutuskan berhenti kala mengetahui ada yang janggal pada industri rekaman yang
menduplikasi kaset-kaset dalam bentuk CD dan tak
sepeserpun Ibu menerima royalti.
“Ibu harus melaporkan kejadian ini, jangan hanya diam Bu!
Kasihan, Ibu sudah banting tulang begini tapi tak mendapat royalti sedikitpun”
Wajahku begitu kesal mencoba memberi saran kepada Ibu.
“Iya benar kata kak Eli, Ibu sudah banyak berjuang
seperti ini. Tapi mereka seakan merendahkan Ibu begitu saja. Ini tidak adil Bu”
Anton mencoba menambahkan.
“Kalian tidak usah khawatir, mungkin Ibu sudah disediakan
rejeki yang lebih dari semua ini. Lagipula sekarang Ibu sudah bisa tampil dari
panggung ke panggung. Itu sudah menjadi rejeki luar biasa.” Ibu tersenyum manis
kepada kami.
“Percuma Bu, apa artinya Ibu tampil mondar mandir dari
panggung ke panggung kalau tak mendapat bayaran sedikitpun! Tidak ada untungnya
sama sekali Bu.” Jawabku sangat kesal.
“Kata siapa? Buktinya mereka sekarang sudah mulai
mengenal Ibu sebagai penyanyi keroncong. Bukannya itu berarti musik keroncong
kini sudah mulai dikenal kembali masyarakat luas. Iya kan?” Ibu menjelaskan
penuh kasih sayang sambil menatap kami begitu dalam.
Aku begitu salut dengan semangat dan perjuangan Ibu. Tak
pernah menyerah dengan keadaan yang kadang tak berpihak. Hanya melalui tari dan
keroncong Ibu menghidupi kami ,satu hal yang membuatku sangat bangga. Ibu orang
yang benar-benar mencintai budaya Indonesia. Soal menari, Ibu sudah terbilang
banyak menguasai jenis tarian. Mulai dari tarian Pakarena Ma’lino dari kotaku
Makassar, Tari kipas, Tari Bosara, Tari Seudati Aceh, Tari Kecak Bali, hingga
Tari Lenso dari Maluku sudah dikuasai jelas oleh Ibu dan sering diajarkan ke
anak-anak sanggar.
Matahari terik begitu membuat gerah siang hari, bunyi
dering telfon dari sudut kamar tampak terdengar. Tak pikir panjang, Aku melangkah
mengangkat panggilan itu. Rupanya seseorang yang berada di ujung telfon memintaku
untuk menyuruh Ibu segera ke Bintang Langgam. Seperti ada pembicaraan serius
yang ingin disampaikan ke Ibu, namun Aku tak sempat menanyakan pembicaraan apa
yang hendak diberitahukan. Melihat Ibu yang sedang asyik menganyam, Aku
menyampaikan pesan telfon yang baru Aku terima. Tanpa banyak tanya, Ibu segera
menuju ke “Bintang Langgam” dengan gaya seadanya.
“Ibu cepat pulang ya” Kataku saat Ibu mulai meninggalkan
rumah.
Aku bahagia, sangat bahagia. Rupanya telfon yang Aku
terima tadi adalah pembicaraan ajakan berbagai grup keroncong yang meminta Ibu
untuk menjadi Ketua Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia. Hatiku berdebar bahagia saat mendengar kabar baik
itu. Aku dan Anton teriak sejadi-jadinya! Bagaimanapun, mendapat kepercayaan
untuk menjadi ketua tidak mudah. Dibutuhkan orang yang kuat dan tahan banting
atas segala masalah yang mungkin kedepan akan terjadi. Dan Aku sadar Ibu adalah
orang yang paling pas menerima semua ini. Setelah diangkat menjadi ketua, Ibu
langsung mengadakan tour bersama ke semua anggota grup secara bergantian. Ini
bukan mimpi! Ini benar-benar nyata. Betapa tidak,
cita-cita Ibu kini terwujud. Perjuangan jatuh bangun terbalaskan, Ibu bisa
menunjukkan aksinya di berbagai kota-kota besar. Aku menangis, terharu dengan
semua ini. Perjalanan ibu benar-benar tak pernah terjadi secara kebetulan.
Hasrat dan keinginannya membawa nama musik keroncong yang merupakan salah satu
ragam musik Indonesia terealisasikan. Tak hanya itu Ibu kini mendapat slot dari
salah satu Televisi Lokal. Nama Ibu kini mulai dikenal masyarakat luas, berkat
keikutsertaannya di acara televisi. Nama Ibu kini terkenal sebagai penyanyi
keroncong professional, selalu mendapat undangan dan kontrak bernyanyi ke luar
negeri untuk mengisi acara-acara besar. Dan satu hal yang sangat membanggakan,
kini Ibu berhasil menyelenggarakan Solo International Keroncong Festival, dan
mengundang penyanyi-penyanyi dari manca negara seperti Australia, Italia,
Hongaria, dan Jepang. Aku bersyukur, cita-cita yang hanya sekedar angan-angan
semata kini ada di depan mata. Musik yang dulunya dianggap rendah dan
terbelakang, kini menjadi musik yang menghidupi Aku dan Anton adikku. Ibu orang
yang hebat! Sangat hebat. Kini Aku dan Anton terhidupi berkat tari dan
keroncong. Dua hal yang sering terlupakan masyarakat Indonesia. Padahal sadar
atau tidak, keduanya merupakan ragam budaya milik negeri kita sendiri.
“Cepat atau lambat usia akan memakan waktu saya untuk
tidak bergantung di keroncong lagi. Semoga sepeninggal saya nanti akan ada lagi
orang yang bisa memberi nyawa pada keroncong. Saya harap itu ada.” Pesan Ibu
setiap mengadakan pertunjukkan dimanapun.