“BUKAN SALAH
JARAK”
Pagi-pagi buta Aku terbangun! Hari ini
Aku beserta Ayah dan Ibu mengantar kepulangan Kak Indra di Bandara. Libur musim
dingin kini memang telah berakhir, itulah saatnya Kak Indra harus balik ke
London, Inggris untuk meneruskan studi semester selanjutnya.
“Pak,
Aku kesana dulu yah!” Kataku izin kepada Ayah
“Iya,
jangan lama-lama Riska!” Jawab Ayah memberi tahu.
Lumayan
lama berjalan-jalan di sekitar bandara, hingga membuat perutku demo untuk minta
segera diisi. Hingga aku memilih salah satu tempat makan yang ada di bandara. Nafasku
tehenti, jantungku sedikit berdebar saat melihat hampir semua meja terisi. Tanpa
fikir panjang, Aku segera memesan makanan dan mencari meja yang masih kosong. Untunglah, di sudut kiri Aku
mendapatkan meja yang tak berpenghuni sama sekali. Sepuluh menit berlalu, makanan yang Aku pesan belum
juga tampak terlihat. Sambil menunggu, Aku hanya terus terpaku memainkan gadget yang
terbawa. Belum juga makanan pesananku tiba, Aku malah mendapatkan dua pria yang
seumuran denganku menghampiri meja yang masih tersisakan bangku. Memang tampak
tak ada pilihan, jadilah dua orang pria tak kukenal itu makan satu meja
bersamaku. Melihat situasi yang sedikit canggung ini, salah seorang pria itu mencoba
memulai percakapan.
“Halo,
dari mana?”
“Oh
, tinggal di sini kok. Cuman mau antar kakak saja balik ke London,Inggris” Aku
mencoba tersenyum meski terlihat sedikit canggung.
“Oh
ke London ? Pesawatnya berangkat jam berapa?” Cowok asing itu kembali bertanya
mencoba mencairkan suasana.
“Sebentar
lagi kok, kalau nggak ada penundaan berangkat jam sepuluh” Aku membalas sambil
mencoba menyantap makanan yang baru saja dibawakan.
Akhirnya
setelah melakukan obrolan cukup lama, Aku kini mengenal identitas mereka.
Namanya Adit, pria yang mengawali pembicaraan tadi. Sedangkan yang satu bernama
Putra, pria yang tidak terlalu banyak bicara sedari tadi hanya sibuk memainkan
smartphone miliknya, meski terlihat sesekali melemparkan senyuman. Keduanya
tampak baik dan ramah meski baru pertama kali saling mengenal. Sesekali Aku
ketawa akan obrolan kecil yang terjadi. Aku sempat terkejut, pada saat itu juga
Aku baru mengetahui jika keduanya berdomisili di kota yang sama denganku. Adit
sempat berkata, jika kedatangannya ke bandara lantaran hanya mengantarkan Putra
sahabat karibnya yang kini akan melanjutkan kuliah di salah satu perguruan
tinggi di China.
Pertemuan yang singkat namun punya kesan
tersendiri di dalam hati, membuatku senyum sendiri mengingat peristiwa ini. Namun
komunikasi kami tak sampai disini, karena saat mau meninggalkan meja makan Adit
mencoba meminta nomor handphone milikku untuk bisa melanjutkan obrolan yang
sempat terhenti.
Kini, komunikasi bersama Adit sering
terjadi meski hanya melalui sms saja. Tak ada rasa canggung lagi untuk
berkomunikasi, bahkan tak sering kami saling memberi masukan mengenai pilihan
kami memilih jurusan di perguruan tinggi. Adit sendiri berencana mengambil
jurusan hukum UI dan UGM sebagai cadangan. Sedangkan jurusan Komunikasi UI
adalah pilihanku. Tak sering akhirnya kami ketemu di suatu tempat makan untuk
saling bertukar fikiran mengenai jurusan yang hendak kami capai.
Waktu
terus berjalan. Perkenalanku bersama Adit kini terhitung satu bulan lebih.
Dimataku, Adit orang yang baik, pintar, sopan dan satu hal yang paling membuatku
kagum adalah kesederhanaan. Tak pernah terfikir jika seorang Adit ternyata
berasal dari keluarga yang mapan. Ayah Adit adalah seorang pengusaha mobil yang
cukup terkenal. Kesederhaan itu membuatku bangga.
Waktu terus berjalan. Intensitas
komunikasi membuatku semakin dekat. Sangat dekat! Bahkan tak ada lagi hal-hal
yang ditutupi. Mulai dari keluarga hingga teman-teman akrabnya kini Aku ketahui.
Bahkan yang paling tak pernah terduga ternyata Adit adalah korban broken home.
Ayah dan Ibunya sudah lama bercerai, Adit sejak kecil sudah menjadi saksi
pertengkaran kedua orang yang dulu pernah mencinta. Dan kini Adit hanya tinggal
bersama sang Ayah dan beberapa sanak saudara dari sang Ayah.
Hingga
satu minggu sebelum tes tertulis masuk perguruan tinggi, Aku mendapatkan ajakan
makan malam dari Adit berdua. Aku menganggap bahwa ini hanya makan malam
seperti ajakan sebelumnya. Tapi aku salah, Adit malam itu mengungkapkan rasa
sukanya kepadaku.
“Tidak
usah bercanda Dit, nggak lucu!” Teringat jelas jawabanku saat itu, Aku tahu
Adit tipe orang yang suka bercanda.
Hingga
saat itu, Aku berfikir jika semua itu hanya candaan semata! Tapi Aku salah besar,
Aku melihat rona mata Adit yang mengatakan jika dia memang jujur. Aku tak bisa
berkata, Aku juga sudah sangat nyaman disamping dia. Aku dan Adit sudah begitu
tau karakter satu sama lain. Hingga saat itu kini Aku menyandang gelar sebagai
kekasih Adit! Hatiku sangat berbunga-bunga. Tapi belum juga menikmati
kebersamaan manis bersama Adit, kini hubungan kami diuji. Adit ternyata harus
melajutkan studinya di Bandung lantaran tak lulus di Jakarta. Sedangkan Aku
tetap tinggal di Jakarta karena berhasil lolos seleksi tulis. Baru sebulan
menjalin hubungan manis ini, kenyataan pahit itu harus kami lalui. Menjalani
hubungan jarak jauh. Jarak antara Jakarta-Bandung memang tidak terbilang jauh,
tapi itu akan secara otomatis membuat intensitas pertemuan kami berkurang.
Bahkan hanya bisa dihitung jari dalam setahun. Sempat beberapa dari teman Aku
mengatakan jika LDR hanyalah hubungan yang tidak serius dan menyarankan untuk mengakhirinya
saja. Namun Aku dan Adit mencoba menjalani semua
apa adanya, meski sangat berat untuk dilalui.
Hari
demi hari, bulan demi bulan kami coba jalani. Kecemasan , ketakutan , rasa
rindu yang mendalam sudah menjadi teman baikku. Apalagi Adit yang terkenal
supel dan gampang akrab sama banyak orang membuatku semakin cemas, namun satu hal
kepercayaan membuatku bertahan hingga saat ini. Perjalanan yang tidak mudah, namun
Aku menikmati semuanya bersama Adit. Untunglah,
teknologi sekarang semakin canggih. Dengan bantuan Blackberry, komunikasi kami tak pernah putus. Dari
SMS, telepon, saling mengirim foto aktivitas sehari-hari, yang tujuannya bukan
untuk memantau namun membuat kami merasa lebih dekat dan tak berjarak.
Karena Aku tahu, Adit bukan tipe orang yang posesif. Yang segala aktivitas
keseharianku harus dilaporkan ke dia terlebih dahulu. Kami mencoba menjalani
hubungan ini dengan santai, tapi tetap dalam prinsip yang sama. Saling percaya
dan setia. Bahkan Aku sering menyampaikan ke Adit, jika tiba-tiba dia menemukan
sosok yang baru disana yang dianggap lebih baik, jangan pernah ragu untuk mengatakan
kepadaku. Itu lebih baik, daripada Aku terus memegang kepercayaan yang ternyata
di salah gunakan.
Sempat
suatu hari Adit mengutarakan kejenuhan akan hubungan ini, Aku tak tau apakah
itu benar-benar kejenuhan yang dirasakan atau hanya sekedar alasan semata karena
mungkin sudah mendapatkan sosok yang baru. Fikirku demikian! Namun Aku juga
tahu, kejenuhan hadir bukan karena tanpa alasan.
Masih
teringat jelas dibenakku kata-kata yang sempat di ucapkan Adit kepadaku sehari
hubungan LDR ini kami jalani.
“Aku sebenarnya sangat tidak bisa
menjalani hubungan jarak jauh ini. Apalagi harus berpisah lama sama kamu!
Bagiku sudah cukup harus terpisahkan sama orang yang melahirkanku ke dunia ini,
Aku sudah kehilangan kasih sayang dari kecil yang semestinya diberikan. Dan Aku
tidak mau hal itu terjadi lagi! Kehilangan kasih sayang dari dirimu. Orang yang
aku sayangi saat ini!”
Mataku berkaca-kaca saat kata demi
kata itu terlontar. Aku tahu, Adit memang butuh seorang wanita pengganti sang
Ibu yang bisa memberikan kasih sayang lebih. Apalagi sejak beranjak dewasa Adit
sudah tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian itu lagi, lantaran sang Ibu memilih
menikah dengan pria lain. Dan sejak saat itulah komunikasi antara mereka
terputus.
Hubungan yang kami jalani memang
sempat renggang, tapi kami mencoba menghapus kejenuhan yang tiba-tiba hadir
tanpa mengenal waktu. Rasa cinta yang besar membuat kami mampu melewati
lika-liku perjalanan hubungan ini. Beberapa kali Adit juga sudah berusaha untuk
pulang menghampiri, tapi beberapa kali juga hal itu tidak terwujud, lantaran
kesibukan kuliah yang tak bisa ditinggalkan.
Kurang sebulan usia hubungan kami
menginjak setahun. Dan baru sekali itulah Aku bertemu dengan Adit selama
menjalani hubungan ini. Tanpa sepengetahuan diriku, Adit berangkat dari Bandung
ke Jakarta bersama teman akrabnya setelah kuliah baru saja berakhir. Hari itu
benar-benar spesial, sangat spesial buatku. Adit memang sempat menanyakan
keberadaanku saat dia baru saja tiba di Jakarta. Namun tak ada firasat sama
sekali akan hal ini. Hal yang tak pernah Aku lupakan, momen paling mengesankan
dalam perjalanan hubungan kami. Tampak dari kejauhan di sekitar parkiran, Adit
memasuki Restoran yang Aku tempati makan malam bersama sahabat-sahabat karibku,
dengan membawa sebuah kue tar tampak diatas kedua tangannya. Sebuah kue tar berwarna
biru, dengan paduan beberapa lilin yang terlihat menyala terang! Ini membuatku
sangat terkejut. Tak pernah Aku berfikir Adit menyempatkan hadir di hari spesial
penambahan umurku ini. Dia mengorbankan waktunya untuk hadir menemuiku
memberikan ucapan dan doa secara langsung. Aku betul-betul sangat terkejut!
Beberapa kali Aku menutup mulut dengan tangan tanda tak percaya. Bahkan Aku
sempat tak bisa berkata apapun saat Adit kini berada pas di hadapanku membawa
kue tar yang ternyata baru dibelinya setiba di Jakarta. Mataku berkaca-kaca,
tersenyum manis membalas semua senyuman yang diberikan Adit. Bahkan rasanya
ingin sekali memeluk erat Adit pada saat itu, hanya saja Aku malu dan tak enak
dengan teman yang hadir.
“Hai, happy birthday ya! Maaf tidak
ngabarin kamu!” Kata Adit di hadapanku sambil tersenyum manis.
Aku hanya membalas balik dengan
senyuman. Aku tentunya tak marah, karena bagaimana juga Adit sudah menyempatkan
untuk hadir menemuiku memberikan ucapan secara langsung. Jadilah pertemuan ini
kami manfaatkan sebaik-baiknya, Adit berbaur bersama dengan teman-temanku yang
hadir menjadi momen terindah dan tak terlupakan dalam perjalanan hubungan ini.
Kami tak henti-hentinya bercengkrama ria, saling menatap dalam pandangan satu
sama lain, menikmati kebersamaan yang jarang tercipta. Tak ingin rasanya malam
indah ini cepat berlalu. Aku benar-benar memanfaatkan waktu yang ada, lantaran
Adit dan temannya harus balik ke Bandung malam itu juga, jadwal kuliah pagi
untuk besok tak bisa ditinggalkan. Meskipun begitu, Aku sudah sangat bahagia,
mendapatkan kejutan tak terduga ini. Begitulah kami mencoba memberi warna pada
hubungan kami, memberi kejutan-kejutan kecil pada setiap momen-momen spesial. Hingga
hampir setahun hubungan kami terus berjalan. Masih teringat jelas masa-masa
perjuangan kami untuk masuk ke perguruan tinggi pilihan masing-masing. Meski,
saat itu Adit gagal masuk ke universitas pilihan pertamanya. Keinginan Adit
mengambil jurusan hukum di Universitas Terbaik Indonesia itu sangat tinggi,
bahkan dia sempat mengutarakan niatnya untuk mengikuti tes kembali. Aku bahkan
sangat menyambut baik keinginan Adit, dengan begitu Aku juga merasa tidak perlu
lagi menjalin hubungan jarak jauh. Aku bahkan tak henti-henti terus memberi
semangat agar kelak Adit bisa tembus di universitas impiannya. Tak sering Aku
mengingatkan untuk meluangkan waktu kosong, dengan belajar latihan soal-soal
tahun lalu, menyempatkan memberi informasi tentang konsep tes tertulis yang
dicanangkan pemerintah hingga mencoba tak menghubungi Adit saat dia fokus
belajar. Semua Aku lakukan agar Adit bisa meraih apa yang di inginkan dan Aku
tak perlu harus jauh lagi dengan Adit, sesuai keinginanku juga selama ini.
Libur akhir semester kini datang,
waktu kurang lebih sebulan dimanfaatkan Adit kembali ke Jakarta. Aku begitu
sangat antusias menyambut ini, bagaimana tidak kami bisa meluangkan banyak
waktu untuk bertemu setelah berbulan-bulan harus menahan rasa rindu yang besar.
Tapi harapan akan hal itu tampak salah, Aku baru sadar Adit kini tak punya
banyak waktu untuk terus menerus menghabisi waktu luangnya bersamaku. Dia
sedang sibuk mengurusi perguruan tinggi impiannya. Meski, kadang Adit masih
sempat mengajakku sesekali keluar bersama. Kali ini Aku harus mengerti akan hal
itu, Aku juga tak mau melihat Adit gagal lagi untuk kedua kalinya. Sangat tidak
ingin!
Saat kurang seminggu hubungan kami
genap setahun, Aku merasakan keganjilan. Aku merasakan hubunganku bersama Adit
kian renggang, kesibukan Adit yang begitu banyak menjadi pemicu. Sering kali Aku
mencoba menguhubungi Adit, namun sering kali juga tak ada balasan dan respon
dari dia. Aku mencoba menenangkan hati, harus menyadari jika Adit benar-benar
ingin fokus mengurusi pendidikannya. Sempat sekali dia merespon panggilan telfon
dariku saat Aku sudah mulai terlihat kesal sama dia. Adit mengatakan jika dia
memang hanya benar-benar sibuk untuk fokus belajar, dan tak tak usah memikirkan
hal yang tidak-tidak.
Aku cukup lega mendengar hal itu, Aku
cuma harus bersabar sejenak dahulu membiarkan Adit untuk fokus belajar. Tapi belum
juga kelegahan itu hadir, Aku seakan mendapat durian runtuh. Tepat setahun di
hari jadi kami, Adit menelfonku memberikan ucapan selamat atas setahun hari
jadi kami. Tak ada acara spesial dan makan malam sekalipun! Jangankan makan
malam bersama, untuk bertemu saja begitu sulit. Aku tak begitu paham dengan
kesibukan yang begitu besar dijalani oleh Adit! Namun, ketidak pahamanku
terjawab sudah saat itu juga.! Aku terdiam. Tak bisa berkata apapun. Mulutku seakan
terkunci kuat, tak dibiarkan untuk berbicara sedikitpun. Jujur, Aku begitu
senang mendapat kabar baik ini, tapi di sisi lain Aku tak bisa membohongi diri
sendiri jika ada rasa sedih yang mucul dari diriku.
“Pengumuman hasil tes Aku sudah
keluar dua hari yang lalu. Dan Alhamdulillah Aku dinyatakan lulus jurusan hukum
dan siap menjadi mahasiswa baru lagi” Adit menyampaikan kabar gembira itu
dengan tampak suara yang datar
“Alhamdulillah. Selamat Dit, kalau
begitu….”
“Tapi bukan di sini Ris, Aku ikut
seleksi di Universitas Xiamen di China. Tempat Indra kuliah. Maaf kalau Aku
tidak memberitahukan, itu karena Aku tak ingin kamu sibuk memikirkan hal ini”
Tiba-tiba saja Adit memotong pembicaraanku, dan mengatakan semu hal tentang
alasan kesibukannya selama ini.
Aku betul-betul tak bisa berkata
apapun. Tak tahu harus merespon apa. Kabar gembira kelulusan Adit itu di
sampaikan tepat di hari jadi kami setahun. Dan tepat tiga hari sebelum
keberangkatan Adit ke China. Aku senang keinginan Adit bisa terwujud bahkan
melampaui hal yang diharapkannya. Tapi rasa sedih mendalam tak bisa ditutupi, Aku
berfikir bukankah ini akan menandakan Aku harus menjalin hubungan jarak jauh
lagi? Sejujurnya Aku tak mau ini terjadi, apalagi jarak Indonesia-China
terbilang sangat jauh.
Dua hari sebelum keberangkatan ke
China, Adit mengajakku menghabiskan waktu berdua. Memuaskan diri bercengkrama
bersama meski ada rasa tak ikhlas bergejolak di hati melewati hari-hari
terakhir. Saat itu juga Adit memintaku mengantarnya ke bandara bersama salah
satu temannya untuk melepas kepergian dirinya ke China. Aku tentu tak menolak,
Aku bahkan sangat senang jika ikut melepas kepergian Adit. Hari yang sebenarnya
tak Aku harapkan, Aku tiba di bandara bersama salah satu teman Adit, yang teman
Aku juga. Hari yang benar-benar tak pernah Aku bayangkan! Harus terpisah
bersama Adit lagi.
Sejak tiba di bandara, Aku
betul-betul tak bisa bersembunyi dari rasa sedih ini. Berusaha menutupi, namun
Adit tahu apa yang Aku rasakan sekarang. Dan untuk menghilangkan rasa
kesedihan, Adit mengajak Aku bersama teman kami yang juga ikut hadir untuk
pergi makan bersama sambil menunggu jadwal pemberangkatan. Kami memasuki di
tempat makan yang satu tahun lalu menjadi saksi pertemuan kami pertama kali.
Aku baru tersadar, dan mengingat kembali pertemuan indah itu. Ternyata, itu
alasan kenapa Adit meminta makan di tempat ini. Untuk mengingatkan kembali
momen indah pertama kali kami saling mengenal. Kami bertiga menikmati makan
bersama, mencoba menghilangkan rasa sedih yang ada. Tapi belum juga rasa sedih
ku hilang. Adit mengungkapkan sesuatu yang tak pernah Aku fikirkan.
“Ris, terimah kasih sudah mau datang
mengantarkan! Terimah kasih juga sudah mau menjadi partner terbaik ku selama
setahun ini. Pokoknya terimah kasih atas semua yang telah kamu berikan” Adit
mengungkapan sambil meletakkan tangannya diatas tanganku saat makan bersama
usai dengan wajah tampak tersenyum.
Aku hanya mengangguk sambil membalas
senyum Adit.
“Tapi maaf Ris, sepertinya saat ini
kita tidak usah melanjutkan hubungan ini lagi. Sangat tidak mudah buat Aku
menjalani suatu hubungan dengan jarak jauh. Sudah cukup Aku merasakan hubungan
jarak jauh dulu, dan Aku benar-benar sudah tidak mampu jika harus menjalani LDR
lagi. Keputusan ini sudah aku fikirkan secara matang. Lebih baik kita berakhir seperti ini daripada
nantinya harus berakhir tidak baik. Aku tetap sayang kamu Ris!” Adit
mengungkapkan dengan nada berbata-bata.
Sekali lagi aku hanya terdiam!
Mataku berkaca-kaca harus mendengar ungkapan Adit yang meminta mengakhiri
hubungan ini. Aku betul-betul tak kuat, tak sanggup menerima kenyataan pahit
ini. Aku bahkan tak berani menatap wajah Adit, berusaha menyembunyikan rasa
sedih yang mendalam. Bahkan air mata yang sedari tadi coba aku tahan, tak bisa
ditahan lagi. Aku kini menangis di depan Adit dan dilihat oleh beberapa
pengunjung yang juga berada didalam tempat makan itu. Tempat makan di bandara
ini betul-betul menjadi saksi perjalan Aku dan Adit. Menjadi saksi saat Aku
bertemu pertama kali dan menjadi saksi kedua kalinya saat hubungan kami
berakhir.
Aku tak habis fikir kenapa dua insan
yang masih menyimpan rasa harus berakhir seperti ini. Harus berakhir hanya
karena adanya jarak yang tiba-tiba masuk kedalam hubungan kami. Tapi, Aku juga
tidak bisa terus menerus menyalahkan jarak yang hadir. Aku percaya jarak tak
pernah salah, Aku percaya jarak tak mampu mebuat cinta musnah, Aku percaya
jarak tak pernah jahat, dan Aku makin percaya jarak justru mendidik dua insan
menjadi pasangan yang lebih hebat! Hanya saja kali ini jarak tak berpihak
kepada kami.
Writer :@nurulfitrahh
6 komentar:
bikkin terharu ;(
ehmmm CCW binggoww
Alhamdulillah, thanks:)
Ngena' bangget,. Crita.a ba'
keren
Bikin nangis 😢
Posting Komentar