Selasa, 26 November 2013

Cerpen Budaya : TARI DAN KERONCONG JANTUNG KAMI

TARI DAN KERONCONG JANTUNG KAMI

 Hiruk pikuk Makassar kota yang sering juga disebut Kota Daeng atau Kota Anging Mamiri ini sudah tampak terlihat. Aku melangkah sedikit demi sedikit menyusuri rumah. Sangat lelah, tapi bersyukur hari ini sudah banyak ilmu Aku dapatkan dari sekolah lagi. Setiap hari Aku hanya berjalan kaki pulang, rumahku juga tak terlalu jauh dari sekolah. Tak hanya itu Aku juga memang tidak mempunyai kendaraan seperti teman lainnya. Cukup membutuhkan waktu sekitar setengah jam saja untuk tiba ke rumah. Kendaraan berlalu lalang sudah menjadi tontonon, sudah terlalu sering menyaksikan pengendara yang menerobos lampu merah karena hanya mementingkan ego semata, polusi udara sudah menjadi sahabatku setiap kembali ke rumah. Sesekali jika terasa lelah, Aku mencoba menghentikan langkah kaki untuk singgah ke salah satu warung kaki lima pinggir jalan. Memuaskan dahaga sejenak dengan menikmati hidangan Es Pisang Ijo, salah satu makanan khas dari kotaku tercinta. Makanan dengan bahan dasar dari pisang ini memang sudah menjadi makanan favoritku ketika rasa haus dan lapar menyerang. Bukan cuman Aku, banyak masyarakat dari luar kota lain juga sangat menikmati makanan khas nomor dua setelah Coto Makassar ini. Bangga, karena Es Pisang Ijo tak hanya dikenal di kota sendiri tapi juga terkenal di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta. Aku mengetahui karena dulu pernah melihat pemberitaan di televisi mengenai beberapa Cafe dan Restoran yang menjadikan Es Pisang Hijau sebagai salah satu menu favorit mereka.
“Kak Eli, ayo cepat ganti baju. Kita makan siang bersama” Suara Anton adik ku tiba-tiba terdengar saat Aku baru saja memasuki rumah.
“Aku sudah kenyang, barusan habis makan Es Pisang Ijo di warung Mbok Ati” Jawabku tersenyum.
“Kak Eli jahat, selalu makan diluar tak pernah memanggil Aku” wajah Anton tampak cemberut.
“Nanti lain kali kalau ada uang lebih lagi, Kak Eli belikan buat kamu. Oh iya, Ibu mana? Belum pulang ?” Aku bertanya balik.
“Belum Kak, Ibu masih ada di sanggar. Mungkin sore pulangnya.” Jawab Anton tak jelas sambil mengunyah makanan.
Sore hari, gerimis turun membungkus rumah. Satu per satu, tetes air jatuh dari genteng. Sekawanan kambing yang tampak asyik menyantap rumput-rumput lapangan juga tampak basah. Dari kejauhan rumah terlihat seorang perempuan tak asing berlari dengan balutan Baju Labbu berlengan panjang dan ketat dari siku hingga pergelangan tangan yang melangkah dengan cepat ke arah rumah.
“Ibuuuuu…” Dengan refleks Aku memanggil dan segera mengambil payung yang tergantung diatas tali jemuran.
Aku segera membuka payung lalu berlari menghampiri Ibu dengan cepat agar tak terlalu basah.
“Ibu, kenapa tak menunggu sampai hujan redah saja ? Kasihan kalau Ibu sakit, nanti tak ada yang mengurusi kita.” Anton tampak peduli.
“Tadi Ibu baru terjebak di tengah jalan. Ibu juga tidak mungkin pulang kalau tahu hujan deras  begini. Lagian, bisa tinggal di sanggar dulu latihan menari sama anak-anak.” Ibu tersenyum manis menjelaskan.
Hampir setiap hari, dari pagi hingga siang bahkan malam sekalipun Ibu selalu berada di Sanggar yang terletak di Jalan Jenderal Sudirman sekitar Monumen Mandala, salah satu monumen yang dibangun untuk memperingati dan menjadikan pedoman nilai-nilai kepahlawanan bangsa Indonesia. Setiap hari, Ibu hanya bisa berada di sanggar sebagai pembimbing dan pelatih penari, meski terkadang anak-anak yang berada disana hanya bisa dihitung jari. Upah yang didapat, juga tak bisa dibilang banyak. Oleh karena itu, Ibu tak mau hanya berpegang sebagai penari saja. Di kotaku, Ibu dikenal sebagai sosok yang memiliki dua wajah. Sebagai penari sekaligus sebagai penyanyi keroncong. Dari hobbi yang bisa menghasilkan rupiah itulah yang memenuhi kebutuhan Aku dan sang adik Anton hingga bisa merasakan nikmatnya bangku sekolah menengah atas.
            “Kau tidak ikut belajar Anton? Lihat kakakmu, setiap malam mengulang pelajarannya” Ibu menguap, bertanya.
            Anton menggeleng, “Aku tidak punya PR Bu.”
            “Belajarkan tidak saat mengerjakan PR saja.! Ayo sana ambil bukunya. Bagaimana nanti bisa masuk SMA unggulan, kalau belajar saja malas” Ibu mencoba menasehati.
            Anton hanya terdiam dan tampak cemberut, segera masuk ke kamar mengambil beberapa buku pelajaran. Meski tampak wajah yang datar seakan tak ikhlas.
            “Eli, Anton, besok pagi kalian jadi ikut liburan sama Paman Ucok?” Ibu bertanya.
            “Oh iya, jadi Bu” Anton tampak semangat.
            Aku mengangguk tersenyum. Besok pagi Paman Ucok, adik laki-laki Ibu yang tinggal di Kota kecamatan mengajak kami jalan-jalan ke Pulau Samalona Makassar. Meski tinggal di Makassar, Aku belum pernah menginjakkan kakiku kesana. Bahkan Aku baru mengetahui keindahan Pulau Samalona dari Paman Ucok sendiri, itu juga baru mendengar ceritanya saja. Ajakan Paman Ucok selalu menyenangkan, dan membuat kami penasaran serasa tak sabar menikmati langsung keindahan pulau yang begitu dibanggakan oleh Paman. Setiap hari libur, Paman selalu mengajak kami berwisata ke tempat-tempat indah. Ke tempat pariwisata yang dianggap mempunyai keindahan tersendiri.
            “Ibu besok ikut yah ?” Wajahku berbinar-binar membujuk.
            “Tidak bisa, Eli.” Ibu menjawab dengan cepat.
            “Ayolah, Bu.  Ibu izin sehari saja besok sama anak-anak sanggar. Kalau Ibu ikut, pasti akan tambah seru.” Aku tampak memohon.
            “Tidak bisa sayang. Ibu harus melatih menari besok, bulan depan anak-anak akan ikut lomba Tari Pakarena. Lagian besok malam Ibu juga ada nyanyi di acara pernikahan anak Pak Sumarto.” Ibu menjelaskan dnegan gamblang.
            Aku sebenarnya hendak Ibu ikut. Tapi karena tanggung jawab terhadap pekerjaannya sangat tinggi. Serta kecintaan Ibu terhadap tari dan keroncong sudah tidak bisa dipisahkan dalam keseharian Ibu. Meski terkadang sering mendapat remehan dan hinaan dari orang-orang sekitar. Ibu tetaplah Ibu yang kuat yang dapat berdiri sendiri tanpa adanya pendamping hidup lagi. Ayah memang memutuskan tali pernikahan dengan Ibu dan menikahi perempuan lain saat Aku menginjak usia 12 tahun. Alasan yang sederhana, masalah ekonomi.
            Meski hidup tanpa pendamping lagi, Ibu tidak pernah terlarut dalam kesedihan dan kemiskinan. Karena sekarang Ibu mempunyai Aku dan Anton harta yang paling berharga dalam hidup ini. Tak pernah menampakkan kesedihan dan setiap masalah yang dihadapi itulah sifat Ibu. Aku tahu betapa hatinya remuk, tapi dia tetap menikmati kehidupan. Kata Ibu selalu padaku.
            Pagi ini cuaca sangat mendukung, tidak ada hujan yang menderas seperti kemarin. Orang-orang tampak mulai kelihatan sibuk memulai aktivitas masing-masing.
            “Paman kalian belum datang?” Ibu keluar sambil terlihat sudah bergegas siap ke sanggar.
            “Belum, Bu.” Anton mencoba menjawab.
            “Sudah dikabari belum? Jangan-jangan tidak jadi lagi.!” Ibu tersenyum dengan nada sedikit mengejek.
            “Tidak batal, Bu. Paman Ucok hanya terlambat.” Aku menegaskan.
            Benar saja, dari kejauhan suara mobil Paman Ucok tampak terdengar. Aku langsung loncat dari bangku, berseru senang. “Hore! Paman Ucok datang!”
            Paman Ucok selalu keren. Lihat saja, penampilannya sudah seperti selebritis yang lagi ikut tantangan traveling. Topi bundat berwarna hitam tampak dikenakan, dipadu dengan baju dan celana yang tampak santai, dan ketinggalan kacamata hitam yang membuat Paman makin keren.
            “Hei, Ayo buruan naik ke mobil” Paman Ucok tampak sumringah menyuruh kami.
            “Ibu, kami pamit dulu yah” Anton teriak bersemangat.
            Paman orang yang heboh, meski hanya bertiga pergi selama diperjalanan kami tak tampak sepi. Ada saja hal-hal lucu yang dilakukan Paman yang membuat kami tak henti-hentinya tertawa. Aku sudah tak sabar menginjakkan kaki di Pulau Samalona, yang sedari tadi membuatku penasaran akan cerita Paman Ucok. Namun Aku baru sadar, rupanya untuk sampai ke Pulau Samalona tak cukup menggunakan kendaraan mobil saja, karena untuk menginjakkan kaki di Pulau Samalona kami harus  menumpang speedboat dari Dermaga di seberang Benteng Fort Rotterdam  dengan biaya carter sebesar tigaratus ribu. Tak cukup lama, kami hanya menempuh dengan waktu kurang lebih setengah jam. Sepanjang perjalanan kami menjumpai banyak kapal-kapal besar yang akan bersandar di pelabuhan Ujung Pandang. Senang sekali rasanya menikmati perjalanan laut ini.
            “Paman, pulaunya indah sekali.! Wahhh, ini benar-benar diluar ekspetasiku.” Aku begitu antusias saat baru saja tiba.
            “PASTI! Siapa dulu dong!” jawab Paman sambil mengambil kamera mengabadikan keindahan Pulau Samalona.
            “Wah iya, Paman memang paling hebat soal liburan. Tau tempat-tempat indah seperti ini. Tapi sayang saja, pulau ini masih belum terlalu populer.” Anton menambahi.
            “Iya, seperti kita sendiri. Tak tahu ada pulausebagus ini” Aku menambahkan setuju dengan kata Anton
            “Itu sebabnya, Paman mengajak kalian kesini. Biar kalian para generasi muda ini bisa tau dan bangga akan ragam pulau di negara kita sendiri.”
            “Paman benar! Seharusnya Aku malu, tak tahu ada pulau sebagus dan seindah ini. Selalu menuntut diajak ke Bali hingga Lombok lah. Padahal di kota sendiri juga ada.” Jawabku dengan suara rintih.
            “Itu dia rumitnya anak muda jaman kalian. Selalu menuntut mau ke Singapore hingga ke Eropa. Padahal di Indonesia banyak sekali destinasi yang bisa kalian tuju.”
            “Paman, Kak Eli ayo kita ke sana.!” Anton mencoba mengajak sambil menunjuk tempat yang dimaksud.
            Aku terkagum! Aku tak mau ketinggalan menyusuri setiap sudut pulau ini, sangat indah dan menakjubkan. Seperti halnya dengan Paman Ucok, tak mau ketinggalan  mengabadikan keindahan Pulau Samalona sambil berkeliling dengan memanfaatkan objek di sekitar. Perahu-perahu nelayan, gubuk-gubuk kayu, serta enceng gondok di beberapa sisi pulau menambah eksotis keindahan Pulau Samalona. Tak hanya itu tampak pasir putih di setiap sisi Pulau menambah kekagumanku dan beberapa karang tajam di sisi belakang menjadi pelengkap keindahan pulau ini. Sangat indah!
            Aku tak puas, tak pernah cukup hanya untuk membelalakkan mata saja dan mengabadikan keberadaan diri serta eksotisme kebersihan pasir putih, semuanya terasa tak lengkap. Perairan yang dangkal membuat Aku memberanikan diri melakukan diving bersama Anton dan Paman Ucok. Aku melihat begitu jelas betapa besarnya keindahan dibawah laut ini. Sangat mengagumkan, kata-kata yang sering keluar saat Aku masih menginjakkan kaki di pulau ini. Sepulang dari sini, Aku berjanji akan merekomendasikan ke teman-teman baik yang diluar ataupun yang ada disini untuk harus melihat salah satu keindahan alam negara kita. “Harus dan wajib!” Kataku.
Tapi ada satu hal yang menjanggal dihati, kebahagiaan yang kami dapatkan tak begitu sempurna. Aku mengingat Ibu yang lagi berjuang mencari rupiah dengan usaha dan kerja kerasnya. Aku termenung, tak pernah melihat Ibu menyempatkan diri menikmati liburan seperti Aku dan Anton rasakan sekarang. Ibu orang yang kuat, kecintaan terhadap tari dan keroncong sudah menjadi jalannya. Aku sangat bangga!
“Paman , lain kali ajak kami lagi yah ke tempat-tempat pariwisata seperti ini!” Aku mencoba menggoda Paman Ucok.
“Hmm, memang tempat yang paling ingin kalian kunjungi dimana?” Paman Ucok tampak bertanya balik.
“BALI!” Aku dan Anton tampak kompak menjawab dengan suara kencang.
Paman hanya tersenyum dan menunjukkan respon wajah yang datar. “Kalian tak ubahnya seperti wisatawan mancangera saja”
“Lho, kenapa Paman ?” Aku bertanya penasaran
“Ya, lihat saja para wisatawan mancanegara. Bali adalah pariwisata yang hanya diketahui oleh mereka. Padahal ada beribu-ribu ragam pariwisata di negara kita ini yang bisa ditawarkan kepada masyarakat dunia” Paman Ucok menjelaskan seius.
Aku terdiam. Tidak ada yang salah dari perkataan Paman Ucok. Kebanyakan dari wisatawan mancanegra hanya tahu Bali sebagai pariwisata Indonesia. Jangankan mereka, Aku sendiri tak begitu banyak tahu tentang pariwisata di negaraku sendiri. Jelas jauh beda dengan Paman, yang sudah punya banyak pengetahuan tentang ragam Indonesia. Paman memang paling senang dengan traveling, sifat adventurnya sudah tak bisa dipisahkan lagi. Hari ini betul-betul mengesankan dan sangat menyenangkan, bisa menyaksikan langsung salah satu ragam pariwisata Sang Pencipta. Sungguh indah ciptaanmu Tuhan!
Matahari pagi sudah kelihatan, hiruk pikuk di jalanan mulai terlihat. Beberapa dari mereka sudah memulai aktivitas. Tampak dari sudut kamar Ibu sedang sibuk merias diri. Aku baru sadar, hari ini Ibu akan mengantar anak-anak sanggar mengikuti kompetisi menari yang dilaksanakan di Monumen Mandala. Tak hanya itu, rupanya Ibu juga diminta dari panitia untuk membuka acara dengan menyumbangkan satu buah lagu keroncong. Jelas Ibu tak akan menolak, meski bayaran yang diterima tak terbilang banyak. Sejak  sebulan yang lalu, Ibu sudah terlihat tampak sibuk melatih anak-anak sanggar. Bahkan tak sering Ibu harus rela pulang larut malam untuk mempersiapkan semuanya, demi kelancaran kompetisi nanti. Tak mau bergulat lama dengan waktu, Ibu dengan cepat mengenakan Baju Bodo berwarna merah beserta sarung dengan bahan khas dari kotaku Makassar. Kali ini Ibu benar-benar terlihat anggun, sangat anggun! Ditambah lagi sepasang anting, gelang, dan kalung yang melekat manis di tubuh Ibu menambah pancaran kecantikannya.
“Ibu hati-hati yah! Aku dan Anton akan segera menyusul.”
“Iya, kalian jangan telat datang! Nanti keburu Ibu tampil” Ibu tersenyum manis.
Ibu melangkah menuju sanggar. Tempat sanggar yang tak terlalu jauh dari rumah membuat Ibu memilih berjalan kaki ditemani sepasang sepatu heels tinggi kesayangan. Dari kejauhan, tampak sudah berkumpul anak-anak sanggar. Tak mau kalah dengan Ibu, mereka tampak sangat kompak mengenakan Baju Bodo beserta olesan bedak dan sedikit gincung merah. Tampak wajah ceria serta semangat dari mereka, membuat Ibu tersenyum bangga dan bahagia. Betapa tidak, momen ini mengingatkan kembali perjuangan Ibu awal-awal membangun sanggar. Sangat tidak mudah membuat mereka masuk ke sanggar tanpa paksaan, sangat tidak mudah membuat mereka menyukai dan mencintai tarian. Sangat tidak mudah! Masih teringat jelas di benakku betapa Ibu jatuh bangun mendirikan sanggar ini. Bahkan tak sering, Ibu memintaku membuatkan brosur berisikan ajakan masuk ke sanggar. Dengan senang hati Aku membantu Ibu. Brosur yang sudah jadi lalu di perbanyak oleh Ibu dan dibagikan ke anak-anak seusai pulang sekolah. Dari anak-anak tingkat dasar hingga menengah atas menjadi sasaran ajakan Ibu, dengan semangat membara Ibu terus berdiri di depan pagar sekolah mencoba membagikan brosur kepada anak-anak yang lewat disekitarnya. Berbagai macam ekspresi dan perilaku yang diberikan. Dari yang menolak, menerima hingga mau membaca, mengambil tapi pada akhirnya meremuk dan membuang jauh-jauh, sampai merobek dengan cepat seakan tak menghargai Ibu yang masih berada disitu. Bahkan satu hal yang membuat Aku sedih, saat Aku menyempatkan menemani Ibu membagikan brosur, salah satu anak tingkat pertama berkata kepada kami:
“Apa gunanya masuk sanggar? Kalau pada akhirnya hanya menjadi seorang penari saja?”
Kata-kata itu membuatku tercengang, kaget dan marah. Aku tak sempat pikir anak itu mengeluarkan kata-kata yang tak sepantasnya! Itu membuatku geram. Tapi ibu menahanku untuk tidak melawan. Ibu memang selalu mengajarkan untuk sabar atas segala apapun yang terjadi. Dan hari ini menjawab semua kesabaran Ibu. Anak-anak sanggar yang sudah tidak bisa dihitung jari lagi kini menikmati masuk berada di sanggar, bahkan tak jarang keluaran dari sanggar Ibu sudah menjadikan penari sebagai profesi keseharian untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Bahkan hingga kini sanggar Ibu termasuk salah satu sanggar terbaik dan populer di kotaku. Semua tidak terjadi secara kebetulan! Butuh keringat dan air mata untuk mendapatkan.
“Ibu, acaranya belum dimulai?” Aku memegang bahu ibu dari belakang saat baru tiba di tempat acara bersama Anton.
“Sepuluh menit lagi Eli, ayo sana cepat ambil tempat. Nanti kalian tidak kebagian”
“Oke Bu. Jangan lupa menampilkan yang terbaik yah” Anton coba menyemangati.
Aku dan Anton segera menuju ke tempat penonton. Mencari tempat yang paling depan agar bisa menyaksikan lebih jelas tampilan Ibu dan anak-anak sanggar. Aku sudah tak sabar, ini kali pertama Ibu tampil menyanyi keroncong di acara besar seperti ini. Biasanya hanya mengisi acara-acara kondagan saja. Aku dan Anton begitu antusias dan tampak semangat. Tak mau kehilangan momen berharga seperti ini, Aku menyuruh Anton mengabadikan penampilan Ibu di panggung nanti. Desakan penonton mulai memadati, juri-juri kepercayaan juga sudah mulai memasuki panggung. Kini sepuluh menit berlalu, Aku melihat Ibu menaikki anak tangga yang menandakan acara kompetisi ini akan segera dimulai. Ibu tampak tersenyum manis kepada semua masyarakat yang tampak hadir. Lambat laun lantunan musik sudah mulai terdengar. Ibu tampak tenang dan sangat anggun, Ibu mengeluarkan suara merdunya. Aku bertepuk tangan, bangga akan Ibu yang mau membangkitkan kembali musik keroncong yang kini bahkan gaungnya tak terdengar lagi. Suara tinggi dan cengkok langgam Ibu begitu terasa, masyarakat yang hadir juga tampak sangat menikmati penampilan Ibu.

“PLAAAKKKKK!”

“Siapa itu?” Aku segera menoleh ke belakang ingin melihat orang yang berani-berani melemparkan botol kosong kearah Ibu.
            Semua terdiam. Meski terkejut, Ibu hanya terus melanjutkan aksinya di panggung dan tak menghiraukan apa yang baru saja terjadi.
            Aku dan Anton masih tetap berdiri, kaget dengan apa saja yang baru terjadi. Ini sudah tidak punya hati nurani lagi. “Ibu hanya menghibur, dia tidak mengganggu, tidak juga menyakiti kalian! Tapi kenapa harus bertindak kasar seperti ini?.” Dalam hatiku tampak berbicara kejam dengan menutup kepalan tangan begitu kencang sambil terus membolak-balik kepala mencari sudut tempat arah lemparan itu. Tapi Aku tak bisa mendapatkan, ratusan orang berkumpul membuatku bingung siapa yang berani-berani bertindak bodoh demikian.
            “Kak, siapa yang melemparkan botol bekas itu?” Anton menanyakan.
            “Tidak tau. Dasar orang tidak punya hati nurani!” jawabku kesal.
            “Itu kena tangan Ibu kak. Betul-betul orang gila! Tidak punya otak kali” Anton menambahkan ikut marah.
            “Iya, tadi juga Aku lihat”
            Kini, malam datang untuk kesekian kali. Hari ini betul-betul membuatku gerah. Masih tak terima dengan kejadian tadi siang. Ini membuat malu Ibu, Aku dan Anton. Aku tak bisa terima ini. Benar-benar bodoh!
            “Eli, sedang apa?” Terdengar suara Ibu dari belakang menghampiri.
            “Aku tidak suka Ibu diremehkan seperti tadi hanya alasan Ibu penyanyi keroncong” Aku mengangkat bahu kecewa dengan mata berkaca-kaca.
            “Tidak usah khawatir Eli, Ibu sudah terbiasa mendapatkan perilaku seperti itu. Jadi biarkan saja” Ibu mengenggam tanganku meyakinkan semuanya baik-baik saja.
            “Tapi Bu..…”
            “Sudah nak! Tidak usah berlebihan. Ayo tidur sana. Besok kan harus sekolah” Ibu memotong pembicaraan.
            “Belum mengantuk Bu” Aku mencoba mengelak.
            “Apalagi yang kamu pikirkan Eli? Ibu sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti tadi. Itu wajar, penyanyi keroncong seperti Ibu memang selalu mendapat pandangan jelek. Itulah tugas Ibu sekarang! Bagaimana Ibu dan teman-teman penyanyi keroncong lainnya membangun kembali musik keroncong di negeri kita ini!” Ibu menjelaskan dengan penuh kehangatan.
            “Iya Bu, Eli paham. Tapi kenapa harus diperlakukan sedemikian kasar? Padahal keroncong itu dari negara kita sendiri. Semestinya orang-orang itu sadar dan bangga masih ada orang yang mau membawa musik keroncong di zaman seperti ini” Aku tersenyum memberikan semangat untuk Ibu.
            Aku dan Ibu menyadari, dunia kesenian yang terus bergerak ini banyak menyimpan berjuta kekhawatiran. Seperti yang sering Ibu sampaikan kepada kami,  “Hidup di dunia seni itu ibarat mengharapkan pelangi di siang hari. Jika tak nampak atau laku, pasti akan sangat menyakitkan.” Untuk itulah Ibu selalu melakukan berbagai upaya yang tiada henti agar karier di dunia keroncongnya selalu terang. Mulai dari menjaga pita suara, Ibu sangat menghindari makanan gorengan bahkan tak sering ibu berpuasa untuk tetap menjaga kualitas suaranya. Tak hanya itu, setiap pagi Ibu mencoba berjalan keluar rumah tanpa menggunakan alas kaki. Dan satu hal yang Aku salut dari sosok Ibu, setiap pukul dua dini hari Ibu tak luput berdoa agar terus diberi kesehatan dan kekuatan dalam menjalani hidup.
            Ibu bukanlah orang yang mudah menyerah. Cita-cita Ibu untuk membangkitkan kembali musik keroncong sangatlah tinggi. Setelah dulu berjuang habis-habisan membangun sanggar dari nol, kini ibu bersama teman-teman penyanyi keroncong lainnya kini mendirikan kelompok musik keroncong yang diberi nama “Bintang Langgam”. Tak mudah membentuk Bintang Langgam, Ibu beserta teman lainnya harus mempunyai kerja sama bersama para pencipta lagu-lagu keroncong. Untunglah, salah seorang dari teman Ibu yang sudah malang melintang di dunia keroncong mengatur semua ini. Wajar, dia sudah mengenal banyak pencipta-pencipta lagu. Beberapa kali beliau juga diminta mengisi acara-acara besar dari kota ke kota sehingga kelompok musik keroncong Ibu dapat berkerjasama dengan baik bersama mereka. Tak hanya itu, Ibu bersama teman-teman di Bintang Langgam mencoba melakukan tranformasi dengan membuat musik keroncong terdengar lebih ritmis, saat sebelumnya musik keroncong terkenal sangat lambat. Semua dilakukan guna membangkitkan kembali musik-musik keroncong dan para pencipta karya lagu yang luar biasa.
            “Bagaimana perkembangan Bintang Langgam Bu?” Aku memulai percakapan saat Ibu sedang asyik menggoreskan pena mencoba menciptakan sebuah lagu.
            “Masih belum ada perkembangan yang begitu berarti nak. Ibu dan teman lainnya masih proses kerja sama dengan salah satu label rekaman disini”
            “Oh gitu ya Bu! Semoga saja nanti Ibu bisa jadi salah satu penyanyi keroncong yang bisa membawa nama Indonesia ke kancah dunia. Aku sangat berharap itu Bu”
            “Iya, doakan saja Eli. Itu semua tidak mudah, untuk bisa di kenal di negara kita saja butuh perjuangan. Apalagi untuk sampai ke kancah dunia, harus ekstra kerja keras lagi” Ibu menjawab sambil terus melanjutkan goresan-goresan penanya.  
            Setiap hari, Ibu bergulat dengan waktu. Tak ingin waktu sedetik di sia-siakan begitu saja. Segala waktu luang Ibu manfaatkan dengan mengurus “Bintang Langgam”. Aku menjadi saksi bisu, betapa Ibu dan teman lainnya mencoba terus mengembangkan komunitas musik keroncong ini. Waktu terus bergulir, hingga kini Ibu sudah melakukan rekaman beberapa buah lagu. Tampaknya, Ibu kini sudah punya cukup modal untuk hidup di dunia keroncong. Tak hanya mempunyai lagu sendiri, karakter suara dan cengkong tinggi Ibu menjadi nilai jual tersendiri. Tapi, bayangan kebahagiaan di depan mata ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan, masa-masa itu adalah masa terberat. Ibu dituduh melakukan plagiat, hal yang membuatku tak habis pikir. Sebuah karya lagu yang dibuat atas kerja keras Ibu sendiri diakui adalah hasil penjiplakan. Salah seorang penyanyi di kotaku mengaku bahwa itu adalah hasil ciptaan darinya bukan ciptaan Ibu. Benar-benar sebuah fitnah! Tak sampai disini, cerita tentang orang-orang yang tidak menyukai Ibu kini membuatku gerah dan kasihan sama perjuangan yang dilakukan Ibu selama ini.
            Tapi satu hal peristiwa terberat yang terjadi pada kami! Peristiwa yang benar-benar menghentikan nafasku sesaat. Saat Paman Ucok, adik laki-laki Ibu harus menutup mata untuk meninggalkan dunia ini selama-lamanya karena mengalami kecelakaan saat melakukan perjalanan wisata ke Manado. Kejadian yang seakan meruntuhkan seisi bumi ini. Aku begitu terkejut mendapat kabar buruk yang serba mendadak. Betapa masih jelas teringat di benakku Paman yang begitu baik dan ramah harus di panggil begitu cepat oleh Sang Pencipta. Kejadian yang betul-betul mendadak ini sangat memukul perasaan Ibu, bagaimana tidak Paman Ucok adalah orang yang begitu baik di mata kami. Paman Ucok juga termasuk salah satu orang yang sering membantu kami dalam segala hal. Membantu biaya sekolah Aku dan Anton sejak kecil hingga membantu membiayai pembangunan sanggar yang kini sudah dikenal oleh banyak orang. Kejadian yang bertubi-tubi dan tertumpuk rapi ini membuat Ibu tak bersemangat menjalani hidup lagi. Hingga suatu ketika Ibu memutuskan untuk berhenti bernyanyi.     
Kalau Ibu nggak mau nyanyi lagi, siapa yang akan menghidupi kami?Anton mencoba memberikan pertanyaan yang sangat memukul jiwa.
            Aku dan Ibu hanya terdiam. Tatapan mata Ibu benar-benar kosong. Aku tahu dia masih belum bisa menerima keadaan seperti ini. Ibu hanya butuh waktu saja untuk mengembalikan semangat yang telah hilang.
            “Aku tahu Ibu pasti sangat sedih, begitu juga dengan kami. Tapi, Paman disana pasti akan sangat bangga jika melihat Ibu bisa terus hidup di dunia keroncong. Musik yang selama ini menghidupi kami Bu.” Air mataku jatuh tak tahan menyaksikan Ibu seperti ini.
            Ibu hanya terdiam. Entah apa yang sekarang ada di benaknya. Mata Ibu berkaca-kaca, mengisyaratkan dia sangat sedih akan hal ini.
            “Menjadi penyanyi itu menjadi penghibur. Menghibur itu membuat Ibu hidup. Dengan menyanyi Ibu seakan bisa mengisi jiwa. Jiwa Ibu akan ikut gembira, dan itulah kebahagiaan yang luar biasa Ibu dapatkan.! Masih ingat dengan kata-kata itu Bu? Ibu sendiri yang bilang sama Aku kan!” Aku tampak tesenyum mengingatkan kata yang dulu pernah terucap oleh bibir manis Ibu.
            Walau perasaannya sakit, Ibu tetaplah orang yang professional. Mendapat hinaan, ejekan, hingga kehilangan Paman Ucok ternyata tak membuat Ibu harus menutup diri dari dari dunia keroncong. Aku percaya, keputusan Ibu untuk tidak bernyanyi lagi hanyalah keputusan sesaat yang dipikir tanpa menggunakan perasaan dan logika saat masih merasakan kesedihan yang begitu besar. Cita-cita Ibu tetap sama, membangkitkan kembali musik keroncong dan membawanya ke dunia Internasional. Bertahun-tahun Ibu terus berusaha membangun “Bintang Langgam” bersama teman lainnya, bolak balik dari satu panggung ke panggung. Nama Ibu sebagai penyanyi keroncong kini juga sudah mulai dikenal banyak orang. Terutama di kotaku Makassar, beberapa kali Ibu diundang mengisi acara-acara besar bahkan tak sering Ibu melakukan tour beberapa daerah.
            Sepanjang kurang lebih dua tahun Ibu sudah merekam dan mendapat kontrak dari label. Ibu bersyukur, betul-betul berkah dari musibah yang datang bertubi-tubi. Namun belum juga sempurna kebahagiaan kami, Ibu memutuskan berhenti kala mengetahui ada yang janggal pada industri rekaman yang menduplikasi kaset-kaset dalam bentuk CD dan tak sepeserpun Ibu menerima royalti.
            “Ibu harus melaporkan kejadian ini, jangan hanya diam Bu! Kasihan, Ibu sudah banting tulang begini tapi tak mendapat royalti sedikitpun” Wajahku begitu kesal mencoba memberi saran kepada Ibu.
            “Iya benar kata kak Eli, Ibu sudah banyak berjuang seperti ini. Tapi mereka seakan merendahkan Ibu begitu saja. Ini tidak adil Bu” Anton mencoba menambahkan.
            “Kalian tidak usah khawatir, mungkin Ibu sudah disediakan rejeki yang lebih dari semua ini. Lagipula sekarang Ibu sudah bisa tampil dari panggung ke panggung. Itu sudah menjadi rejeki luar biasa.” Ibu tersenyum manis kepada kami.
            “Percuma Bu, apa artinya Ibu tampil mondar mandir dari panggung ke panggung kalau tak mendapat bayaran sedikitpun! Tidak ada untungnya sama sekali Bu.” Jawabku sangat kesal.
            “Kata siapa? Buktinya mereka sekarang sudah mulai mengenal Ibu sebagai penyanyi keroncong. Bukannya itu berarti musik keroncong kini sudah mulai dikenal kembali masyarakat luas. Iya kan?” Ibu menjelaskan penuh kasih sayang sambil menatap kami begitu dalam.
            Aku begitu salut dengan semangat dan perjuangan Ibu. Tak pernah menyerah dengan keadaan yang kadang tak berpihak. Hanya melalui tari dan keroncong Ibu menghidupi kami ,satu hal yang membuatku sangat bangga. Ibu orang yang benar-benar mencintai budaya Indonesia. Soal menari, Ibu sudah terbilang banyak menguasai jenis tarian. Mulai dari tarian Pakarena Ma’lino dari kotaku Makassar, Tari kipas, Tari Bosara, Tari Seudati Aceh, Tari Kecak Bali, hingga Tari Lenso dari Maluku sudah dikuasai jelas oleh Ibu dan sering diajarkan ke anak-anak sanggar.
            Matahari terik begitu membuat gerah siang hari, bunyi dering telfon dari sudut kamar tampak terdengar. Tak pikir panjang, Aku melangkah mengangkat panggilan itu. Rupanya seseorang yang berada di ujung telfon memintaku untuk menyuruh Ibu segera ke Bintang Langgam. Seperti ada pembicaraan serius yang ingin disampaikan ke Ibu, namun Aku tak sempat menanyakan pembicaraan apa yang hendak diberitahukan. Melihat Ibu yang sedang asyik menganyam, Aku menyampaikan pesan telfon yang baru Aku terima. Tanpa banyak tanya, Ibu segera menuju ke “Bintang Langgam” dengan gaya seadanya.
            “Ibu cepat pulang ya” Kataku saat Ibu mulai meninggalkan rumah.
            Aku bahagia, sangat bahagia. Rupanya telfon yang Aku terima tadi adalah pembicaraan ajakan berbagai grup keroncong yang meminta Ibu untuk menjadi Ketua Himpunan Artis Musik Keroncong Indonesia. Hatiku berdebar bahagia saat mendengar kabar baik itu. Aku dan Anton teriak sejadi-jadinya! Bagaimanapun, mendapat kepercayaan untuk menjadi ketua tidak mudah. Dibutuhkan orang yang kuat dan tahan banting atas segala masalah yang mungkin kedepan akan terjadi. Dan Aku sadar Ibu adalah orang yang paling pas menerima semua ini. Setelah diangkat menjadi ketua, Ibu langsung mengadakan tour bersama ke semua anggota grup secara bergantian. Ini bukan mimpi! Ini benar-benar nyata. Betapa tidak, cita-cita Ibu kini terwujud. Perjuangan jatuh bangun terbalaskan, Ibu bisa menunjukkan aksinya di berbagai kota-kota besar. Aku menangis, terharu dengan semua ini. Perjalanan ibu benar-benar tak pernah terjadi secara kebetulan. Hasrat dan keinginannya membawa nama musik keroncong yang merupakan salah satu ragam musik Indonesia terealisasikan. Tak hanya itu Ibu kini mendapat slot dari salah satu Televisi Lokal. Nama Ibu kini mulai dikenal masyarakat luas, berkat keikutsertaannya di acara televisi. Nama Ibu kini terkenal sebagai penyanyi keroncong professional, selalu mendapat undangan dan kontrak bernyanyi ke luar negeri untuk mengisi acara-acara besar. Dan satu hal yang sangat membanggakan, kini Ibu berhasil menyelenggarakan Solo International Keroncong Festival, dan mengundang penyanyi-penyanyi dari manca negara seperti Australia, Italia, Hongaria, dan Jepang. Aku bersyukur, cita-cita yang hanya sekedar angan-angan semata kini ada di depan mata. Musik yang dulunya dianggap rendah dan terbelakang, kini menjadi musik yang menghidupi Aku dan Anton adikku. Ibu orang yang hebat! Sangat hebat. Kini Aku dan Anton terhidupi berkat tari dan keroncong. Dua hal yang sering terlupakan masyarakat Indonesia. Padahal sadar atau tidak, keduanya merupakan ragam budaya milik negeri kita sendiri.

            “Cepat atau lambat usia akan memakan waktu saya untuk tidak bergantung di keroncong lagi. Semoga sepeninggal saya nanti akan ada lagi orang yang bisa memberi nyawa pada keroncong. Saya harap itu ada.” Pesan Ibu setiap mengadakan pertunjukkan dimanapun.

Tidak ada komentar: